Rabu, 10 Desember 2014
“Ya
Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku sudah tak sanggup. Batinku tertekan
tinggal bersamanya...” tetesan air mata langit perlahan membasahi seragamnya.
Kepalanya di tekuk seraya memeluk kedua lututnya. Tangannya meraba-raba di
sekitarnya dan mengambil batu, lalu melemparkannya jauh ke kolam yang ada di
depannya. Seakan tak menghiraukan sekitar, ia melempar batu
sekencang-kencangnya tanpa takut terkena seseorang.
Perasaannya
lumayan lega setelah melakukan rutinitas yang biasa dia lakukan ketika
bersedih.
Bumi
berkeliling di keramaian kota, matanya menerawang melihat sekeliling. Tak ada
satu lembar pun poster yang luput dari penglihatannya. Ia sedang mencari
lowongan kerja sambilan, namun hasilnya nihil. Tak ada satu pun. Teriknya
matahari perlahan tergantikan oleh senja yang ke merah-merahan.
Meski
peluh terus menetes, namun Bumi tak pantang menyerah, meski sekarang hasilnya
nihil. Tapi, kemungkinan esok kan lebih baik dari hari sekarang. Bumi bergegas
pulang, takut-takut ibunya akan khawatir jika ia pulang terlalu larut.
Ketika
dalam perjalanan pulang, menjauh dari keramaian kota. Dan menapaki jalan
setapak menuju desanya, menuju rumah tempat ia dan keluarganya berteduh.
Melewati taman yang indah dan melongok ketika melihat seseorang yang sudah tak
asing baginya. Duduk terpaku dalam lamunannya. Ia kira hanya dirinya saja yang
punya masalah, ternyata orang seperti Langit pun bisa, padahal ia punya
segalanya.
Bumi
mencoba mendekatinya dengan segenap kemampuan. Ia tak sanggup mendekati Langit
yang sangat angkuh itu. Namun rasa penasaran menyergapnya dan membawa ia
menepi.
“Langit?...”
sapanya pelan, seakan terdengar seperti gumaman.
Terdengar
suara seseorang, Langit mendongakkan wajahnya dan menoleh. Ia mencoba mengingat
orang yang berada di sebelahnya itu.
“Lo
siapa?” Tanyanya acuh tak acuh. “Darimana lo tau nama gue? Tapi, kayaknya gue
pernah liat lo deh...” sambung langit seraya mengingat-ngingat.
“Gue
Bumi...” jawabnya datar namun tatapannya begitu tajam.
“O
iya, gue baru inget, lokan yang waktu itu nyolot banget ama gue!” Seru Langit,
”ngapainlo di sini?” Sambungnya sewot.
“Tentu
lah gue nyolot ama lo, lo yang nabrak gue, sengaja lagi. Kenapa sih lo kaya benci
dan nggak suka banget ama gue.”
“Abis
lo kampungan, sok pinter...” ejek Langit judes.
“What’s
problem? Eh gue kasih tauyah, jadi cewek jangan terlalu judes, entar nggak laku
baru tau rasa loh...! Ujar Bumi acuh tak acuh.
“Apa
hubungannya? Dasar Gila!” Ejeknya.
“Enak
Ana bilang gue gila! Entar kualat loh...”
“Peduli.”
Ucapnya angkuh dan beranjak meninggalkan Bumi yang masih berdiri terpaku
disebelahnya tadi.
Langit
berjalan dengan perasaan yang begitu dongkol karena di permalukan oleh Bumi. Ia
menggerutu sendiri sampai tak melihat ada batu di depannya. Otomatis ia
terjatuh, kaki kanannya terkilir dan ia mengerang kesakitan. Mendengar suara
menjerit, sontak Bumi pun langsung berlari dan mendekat, ia hendak menolong
Langit. Ketika tangan Bumi hendak
memegang kaki Langit, tangannya langsung di tepis kasar oleh Langit.
“Eh
ngapain lo, jangan nyari kesempatan dalam kesempitan yah!”
“Eh
Lang, gue itu mau nolongin lo. Tapi, terselah lo kalor nggak mau di tolong ya
ludah gue mau pulang, lagian bentar lagi mau magrib.” Ujar Bumi mencoba
menjelaskan.
“Apa?!”
Ujar Langit terlihat begitu panik. Seketika itu suasana hening, Langit terlihat
menggigit bibir bawahnya menahan sakit saat ia hendak bangun. Bumi menoleh tak
acuh lalu melangkah menjauh..
“Mmm...
tunggu!” Seru Langit, “gue minta ma’af. Kaki gue sakit banget...” sambungnya
lemah. “Lo mau nggak bantun gue... please!” Pinta langit dengan wajah memelas.
Bumi
menoleh namun tak berkata apapun. Ia langsung mendekat dan memanggku Langit.
“Mobil
lo Dimana?”
“Gue nggak
bawa mobil.”
“Terus,
gue bawa lo ke mana?”
“Gue
ikut lo ayah, please. Malam ini aja, gue Males pulang ke rumah.”
“Iya”
Di
perjalanan suasana menjadi hening, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut
keduanya, seakan membisu sesaat. Perasaan canggung hinggap di keduanya.
“Lo
nggak berat?” Tanya Langit waswas
“Yah
berat lah.” Jawab Bumi datar
“Ya
udahkalogitu gue jalan aja.”
Bumi
tak menjawab, ia menurunkan Langit perlahan dan menjauh pergi.
“Lo
tunggu di sini, gue mau ganti baju dulu.”
Langit
terdiam, menuruti perkataan Bumi. Namun keningnya mengerut tak mengerti.
Setelah
selesai berganti, Bumi pun melanjutkan jalannya. Bumi berjalan lesu tak karuan,
sedangkan Langit menyusul di belakangnya dengan terpincang-pincang.
“Heh
bisa pelan dikit nggak jalannya, udahtau kaki gue sakit, masih ajacepet
jalannya.” Sewot Langit.
“Terus
mau logimana?” Tanya Bumi mengernyitkan dahinya. Namun Langit hanya diam
malu-malu. “Sini gue gendong lagi,” sambung Bumi
“Makasihyah,
kamu baik banget. Padahal aku selalu jahat sama kamu, tapi kamu masih mau
nolongin aku.” Ucap Langit lirih
“Apa?
Kamu? gue nggak salah denger? Lo bilang Aku-Kamu?” Ledek Bumi
seraya tersenyum.
Langit
tersenyum simpul.
“Maksud
gue... ah sama aja. Tapi benerloh... terus gue minta maaf kalo dulu gue sering ngehina dan
ngerendahinlo.”
“Iya,
udah gue maafin.”
“Tapi
kenapa lo selalu nolongin orang, nggak pernah pandang bulu.”
“Sederhana.
Jika kau tak bisa melakukan hal besar,
coba lakukan hal kecil dengan cara besar.”
“Maksudnya?”
“Coba
cari tau sendiri.”
“Ish
kamu! Eh... mmm, masih jauh nggak, gue ngantuk nih...”
Langit
menguap lalu tertidur perlahan di gendongan Bumi. Bumi hanya bisa tersenyum
melihat tingkah laku Langit yang jauh berbeda dari sebelumnya. Kenyataan
manis untuk Langit, bisa tersenyum di
tengah kesedihan yang menimpanya, begitu pun Bumi.
Langit
senja begitu cerah dan mulai terganti oleh langit malam yang bertabur bintang.
Tobecontinue... :D
nextstory, kunjungi blog saya... http://cerpennano.blogspot.com
e-mail berbagi, tikakomalasari75@gmail.com

Label: Tika Komalasari
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar